f Imam Nawawi | All For One-One For All
Hot Artikel - Downloads Internet Downloads Manager Terbaru By Siqerenda
Halo Sobat!, Members Area : Daftar - Masuk · Pasang Iklan · Admin

Imam Nawawi

Written By Dhany atthalibul 'ulum on Rabu, 09 Mei 2012 | 21.55


 Beliau adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Sebab, ia belum sempat menikah. Ia termasuk salah seorang ulama yang membujang hingga akhir hayatnya. Mendapat gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak menyukai gelar ini karena sifat tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Beliau pernah mengemukakan: "Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar "Muhyiddin" kepadaku." Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram (ada yang berpendapat demikian) pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus. 


Pertumbuhan dan Proses Belajarnya

Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh. Beliau menghafalkan Alquran di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar. Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar. Setelah itu ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah menginjak 19 tahun. 

Dan akhirnya ia tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmupun memberikan kepadanya sebagian darinya. Imam Nawawi bercerita tentang dirinya: "Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus pada saat beliau berusia 49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak; penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah tersebut. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355]. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih (red:at-Tanbiih fii Furuu’isy-Syaafi'iyyah, karya Abu Ishaq asy-Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu') di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut". Disebutkan juga bahwa ia menghadiri 12 halaqah dalam sehari.

 Guru-Gurunya 

 Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. 

Murid-muridnya 

 Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul ’Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior), Syamsuddin bin an--Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan dan masih banyak yang lainnya. 

 Pujian ulama terhadap beliau 

 Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara, memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.” Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar." 

 Wafatnya 

 Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang dipinjamnya dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama’ah yang beliau bina melepas kepergian beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi?" Beliau menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat. Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, ’Izzuddin Muhammad bin Sha’igh bersama para jajarannya datang ke makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang atau 600 keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan membangkitkan beliau kelak bersama mereka yang telah dikaruniai nikmat yang besar yakni dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin. 

 Kitab-kitab karyanya
 Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya: 

1.  Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), 
At-Taqrib wat    Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir. 

2.  Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’. 

3.  Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
4.  Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.

 Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
 Akhirnya tiada gading yang tak retak. Secara umum beliau termasuk ulama salafi yang berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya. 

Tentang Riyadhus Shalihin

 Di antara karya beliau yang paling bermanfaat, terkenal dan tersebar di semua kalangan adalah kitab “Riyadhush Sholihin”, hal itu terjadi setelah izin Alloh, karena dua hal: 

 Pertama, isi kandungannya yang memuat bimbingan yang dapat menata dan menumbuhkan jiwa serta melahirkan satu kekuatan yang besar untuk berhias dengan ibadah yang menjadi tujuan diciptakannya jiwa tersebut dan mengantarnya kepada kebahagiaan dan kebaikan, karena kitab ini umum meliputi Targhib dan Tarhib dan kebutuhan seorang muslim dalam perkara agama, dunia dan akhiratnya. Kitab ini adalah kitab tarbiyah (pembinaan) yang baik yang menyentuh aneka ragam aspek kehidupan individual (pribadi) dan sosial kemasyarakatan dengan uslub (cara pemaparan) yang mudah lagi jelas yang dapat dipahami oleh orang khusus dan awam. Dalam kitab ini penulis mengambil materinya dari kitab-kitab sunnah terpercaya seperti Shohih al-Bukhoriy, Muslim, Abu Daud, An Nasaa’i, At Tirmidziy, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Beliau berjanji tidak memasukkan ke dalam bukunya ini kecuali hadits-hadits yang shohih dan beliau pun menunaikannya sehingga tidak didapatkan hadits yang lemah kecuali sedikit itu pun kemungkinan menurut pandangan dan ilmu beliau adalah shohih. 

 Kedua, tingginya kedudukan ilmiah yang dimiliki Imam Nawawi karena keluasan ilmu dan dalamnya pemahaman beliau terhadap sunnah Rosululloh. Imam Nawawi memberikan keistimewaan dalam tertib dan pembuatan bab pembahasan, beliau membaginya menjadi beberapa kitab dan kitab-kitab ini dibagi menjadi beberapa bab lalu menjadikan kitab sebagai judul bagi hadits-hadits yang ada di dalam bab-bab yang banyak dari satu jenis dan menjadikan bab sebagai judul bagi sekelompok hadits yang menunjukkan satu permasalahan khusus. Kitab ini terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadits, beliau membuka mayoritas babnya dengan menyebut ayat-ayat dari Al Quran yang sesuai dengan pembahasan hadits yang ada lalu membuat tertib dan bab yang saling berhubungan sehingga kitab ini bisa mengalahkan selainnya dari kitab-kitab yang serupa dengannya. (Lihat Muqaddimah Syarhu Riyadhush Sholihin Karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin oleh: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar Cetakan pertama tahun 1415/1995).
Kirim Update Artikel Terbaru Untuk
Sobat Iam Rizz Qee Langsung ke Email Sobat !


Privacy guaranteed. We'll never share your info.

L a i n n y a

0 komentar:

Posting Komentar

Next previous home